Annyeonghaseyo, Islam
Oleh
: Arqelialee
“Safna,
apa yang sedang kau lakukan?”, tanya Nara.
“Ani*,
aku hanya membaca buku ini”, jawabku sambil menunjukkan buku yang kupegang.
Aku
dan Nara sedang berada di sebuah cafe yang berada di Seoul, Korea Selatan. Kami
adalah siswa dari salah satu SMA di Indonesia yang mengikuti program pertukaran
pelajar, dan ternyata negara yang kami kunjungi adalah Korea Selatan. Negara
ini terlihat rapi dengan fasilitas yang sangat memadahi. Aku sangat senang,
karena kupikir di Korea Selatan aku dapat bertemu dengan Super junior, Girls’
Generation, atau artis-artis populer dari negara ginseng tersebut.
“Kupikir
kau sudah mulai fasih menggunakan Bahasa Korea”, celetuk Nara.
“Ah,
aku belajar dari buku-buku dan meilhat orang-orang di sini”, jawabku.
“Ternyata
hidup di negara lain tidak begitu menyenangkan”, ucapnya.
“Mengapa?”,
tanyaku.
“Kita
jadi sering dianggap aneh karena pakai jilbab. Itu semua karena mayoritas
penduduk di sini tidak memiliki agama”, jawabnya.
“Hmm,
di sini juga sulit menemukan makanan halal”, imbuhku.
Obrolan
kami memanjang, kadang diselingi tawaan yang menggema. Aku jadi rindu dengan
Indonesia, meskipun kuakui fasilitas di sini lebih canggih.
*: Tidak
***
“Excuse
me, How much is it?”, tanyaku dengan menyodorkan sebuah pakaian lengan panjang
berwarna coklat muda yang bermotif bunga
sakura merah muda.
“5.000
won”, jawab penjual itu.
Aku
sedang berada di Dongdaemun, sebuah tempat dimana kita dapat membeli barang
yang kita inginkan dengan murah. Aku membungkusnya dan segera membayarnya. Di
Korea Selatan, kita dibiasakan untuk membungkus belanjaan kita sendiri,
meskipun ada beberapa penjual yang membungkuskannya.
Brrukk.....
Tubuhku
menabrak seorang lelaki yang berjalan berlawanan arah denganku. Semua
belanjaanku jatuh dan berserakan. Aku segera membenahi belanjaanku yang
terhambur di lantai. Ternyata orang yang menabrakku tadi membantuku untuk
mengambil belanjaanku dan memasukkannya ke dalam kantong kertas.
“Mian*”,
ucapku sambil mendongakkan kepalaku untuk melihat wajah pria itu.
“Ne**.
Wait, are you from Indonesia?”
“Yes,
I am. Why?”, tanyaku.
“Aku
juga berasal dari Indonesia”, jawabnya.
“Wah,
senang bisa bertemu denganmu. Perkenalkan, namaku Safna”, ujarku sambil
menjulurkan tangan.
“Bagas”,
jawabnya sambil membalas juluran tanganku.
Semenjak
pertemuan itu, aku semakin dekat dengan Bagas. Kami menceritakan kehidupan
masing-masing selama perjalanan keluar dari Dongdaemun.
“Ah,
Nara sedang menungguku. Aku duluan ya”, ucapku.
“Ok,
hati-hati”, ujarnya.
*: Maaf
*: Ya
***
“Nara, tadi
aku bertemu seseorang”, ujarku.
Nara
menolehkan wajahnya ke arahku yang sedang duduk di ranjang. Ia mendekatiku dan
ikut duduk di ranjang kami.
“Siapa?”,
tanya Nara penasaran.
“Namanya
Bagas, ia juga berasal dari Indonesia”
“Wah,
kapan-kapan kenalkan aku juga ya”, ucapnya genit.
“Iya. Eh, udah
waktunya sholat Isya’, ayo sholat”, ajakku yang dibalas Nara dengan anggukkan.
***
“Bagas,
agamamu apa?”, tanyaku memecah suasana hening.
Aku dan Bagas
sedang berjalan menyusuri Sungai Han, sungai yang sangat terkenal karena banyak
drama korea yang mengambil tempat ini sebagai lokasi syutingnya. Ternyata air
di sini sangat jernih, tidak seperti di Jakarta.
“Ehmm, aku tak
punya agama layaknya kebanyakan orang di sini”, jawabnya.
“Kenapa tak
punya agama? Padahal punya agama itu menyenangkan”
“Aku juga
sangat ingin memeluk suatu agama, namun sepertinya aku belum menemukan yang
cocok”
Mendengar
penuturan Bagas, aku hanya mendengarkan dan menganggukkan kepala tanda mengerti.
Kami
melanjutkan perjalanan melalui Sungai Han sembil sesekali diiringi tawa canda.
“Ah, aku lupa.
Ini sudah waktunya sholat Maghrib, aku harus pergi ke masjid sekarang”, ucapku.
“Safna,
mengapa di agamamu banyak aturan?”, tanyanya.
“Aturan
itu dibuat agar umat Islam hidup tenang dunia akhirat”, jawabku.
“Apakah
aku boleh ikut ke masjid?”, tanya Bagas.
“Boleh,
tapi kamu tunggu di luar saja ya?”, jawabku.
“Oke”
***
“Aishh,
mengapa Bagas lama sekali? Daripada bosan, aku membaca Al-Qur’an saja”, ujarku.
Kukeluarkan
sebuah Al-Qur’an kecil dari dalam tas yang kupakai. Aku mulai membaca ayat demi
ayat Al-Qur’an.
Selang
beberapa menit, aku menangkap bayangan seseorang yang kuyakini Bagas. Aku pun
menyelesaikan bacaan Al-Qur’anku dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Aku
terkejut, saat berbalik aku sudah menemukan Bagas duduk di sampingku.
“Astaghfirullah,
kamu itu hobi membuat orang terkejut ya?”, tanyaku sambil sedikit tertawa di
akhir kalimat.
“Iya,
apalagi yang kukejutkan itu kamu. Tadi kamu membaca apa?”, balasnya.
“Aku
membaca Al-Qur’an, kitab agamaku”, jawabku singkat.
“Terdengar
merdu”, ucapnya.
Aku hanya
membalas ucapannya dengan senyum.
“Safna, dari
awal aku ingin menanyakan ini tapi aku takut”, ujar Bagas.
“Mengapa
takut? Memangnya kamu ingin menanyakan apa?”, tanyaku.
“Ehmm, mengapa
kau menutupi kepalamu? Apa kau sedang sakit kepala?”
Mendengar
pertanyaannya, aku mengerti. Ternyata jilbab yang kupakai ini membuatnya
penasaran. Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.
“Kain ini? Ini
namanya jilbab. Jilbab biasa digunakan untuk menutupi aurat wanita”, jawabku.
“Aurat?”
“Ya, bagian
tubuh yang harus ditutupi menurut Agama Islam”
Ia
menganggukkan kepala.
“Kalau
laki-laki auratnya mana saja?”
“Dari pusar
sampai lutut”, jawabku.
“Mengapa harus
ditutupi?”, tanyannya.
“Misalkan kita
ini berlian, bukankah berlian yang tertutup atau terlindungi kualitasnya lebih
menjamin daripada berlian yang tak dilindungi? Lalu juga dapat melindungi umat
Islam dari orang yang berpikir macam-macam, sehingga tak terjadi sesuatu yang
tak diinginkan”, jawabku.
Selama aku
menjelaskan, ia memandang wajahku dengan serius. Ia benar benar mendengarrkan
apa yang kuucapkan.
“Apa kau
lapar? Tadi siang aku belum makan”, tanyanya.
“Aku belum
lapar, kau ingin makan? Ayo, jangan biarkan perutmu kosong”, ucapku.
Kami pun pergi
ke sebuah supermarket. Di tengah jalan, aku melihat penjual Tteokbokki (kue
beras pedas). Karena ingin mengemil, akupun membelinya. Bagas sudah kutawari,
tapi ia tak bisa makan makanan pedas. Kamipun melanjutkan perjalanan ke
supermarket untuk membeli ramen (mie khas korea) instan. Aku sudah
memperingatkannya bila tak baik memakan ramen instan sering-sering. Tapi Bagas
tetap kukuh pada pendiriannya.
***
“Nanti malam temui aku di cafe biasanya jam
7”
“Memangnya ada apa?”
“Sudahlah, datang saja”
“Kalau temanku ikut bagaimana?”
“Tentu, semakin banyak orang semakin baik”
“Ok, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Sambungan
teleponku dangan Bagas kuputus. Aku masih bingung dengan Bagas, tak biasanya ia
begini. Biasanya bila mengajakku bertemu tak pernah lebih dari jam 7 malam. Ah,
bagaimana aku tahu? Apa aku sudah mulai dekat dengannya? Padahal baru beberapa
minggu yang lalu aku bertemu dengannya.
***
“Bagas,
kenalkan ini Nara, temanku”, ucapku.
Narapun
memperkenalkan dirinya pada Bagas, begitu pula sebaliknya.
“Ada apa?”,
tanyaku.
“Aku punya
kejutan untuk kalian”, jawabnya.
“Apa itu?
Nara yang
penasaran mulai membuka suaranya.
“Ashadu alla
illaha ilallah wa ashadu anna muhammadarrasulullah”
“Bagas, apa
maksud kamu?”, tanyaku.
“Ehmm, aku
sudah menemukan agama yang tepat untukku. Agama itu adalah Islam”, jawabnya.
Aku yang
terkejut tersedak saat minum teh. Sedangkan Nara, ia hanya membuat mimik wajah
seakan tak percaya yang lucu.
“Jeongmal*?”,
tanya Nara.
Bagas hanya
membalasnya dengan anggukkan dan senyum. Ia menyandarkan punggungnya pada
sandaran kursi dan menatap mataku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan.
“Ah,
sepertinya aku harus mengenal Islam lebih dalam dari kalian”
“Tenang, kami
membuka kursus”, jawab Nara dengan tawa.
Aku dan Bagas
yang mendengar ucapan Nara juga ikut tertawa. Setelah selesai bercengkrama,
kami memutuskan untuk pergi ke Sungai Han. Ah, sepertinya itu tempat favoritku.
“Rasanya aku
seperti ingin teriak di sini”, ucapku.
“Kalau begitu
teriaklah, hanya aku dan Nara yang mendengarnya”, jawab Bagas.
“Sungai Han adalah tempat favoritku”, teriakku.
“Annyeonghaseyo**, Islam. Aku akan
mempelajarimu lebih dalam dengan dua orang di sebelahku ini. Saranghaeyo***,
Islam”, ujar Bagas.
Aku menoleh ke
arah Bagas. Aku masih tak percaya ternyata aku mampu membuat Bagas masuk Agama
Islam. Tentu ini semua karena Allah yang membuka pintu hatinya.
“Annyeonghaseyo,
Islam. Aku akan mengajarinya tentangmu, tentang kebesaranmu”, ucapku tanpa
berteriak.
Kami pun
terdiam, memikirkan Islam yang menyatu dengan pikiran, hati, dan perbuatan
kami.
*:
benarkah
**: selamat datang/apa kabar
***: aku mencintaimu